Cari Blog Ini

Selasa, 29 November 2011

Marbot Masjid Kita


Hazairin R. Junep
Yogyakarta (www.sasak.org) Di Masjid tua sebuah dusun saya mengikuti shalat jum’at yang sangat tradisional. Khotbah dalam bahasa Arab, saya ragu kalau jamaah yang shaf terdepanpun faham semuanya. Mereka sebagian besar buruh petani dan nelayan. Dibelakangnya lagi anak anak muda yang sekolah dan ada pula yang santri. Tatkala mengucap amin rasanya syahdu sekali meliuk menembus hati. Alangkah kompaknya semua orang dari shaf depan sampai shaf tercecer miring berbaris paling bontot dua orang dengan sajadah daun kering ditanah. Sejak kecil saya suka sekali dengan pak marbot yang tekun mengurus masjid. Dari menyapu, mengepel lantai sampai membersihkan tongkat sang imam.
Masjid di kampung saya menerapkan management aneh. Tidak ada tongkat dan tak ada marbot resmi. Kalau masjid perlu dibersihkan panggil orang gotong royong cuci karpet ke pencucian yang bertebaran di jalan. Ketika saya diundang untuk memilih takmir masjid yang baru bertahun yang lalu saya mendukung seorang sarjana lulusan UGM dan menitipkan agar kita berjuang memakmurkan masjid. Mingu berlalu, bulan tanggal dan tahun lewat, tak ada sesuatu yang berarti. Maka saya mendekati sang takmir dan bertanya, mengapa marbot tidak difungsikan agar masjid terawat dan makmur. Saya usulkan agar marbot diangkat dan digaji UMR. Saya berniat menopang sementara gagasan itu. Dia menyetujui tapi tidak kunjung dilaksanakan. Saya bertanya, apakah ada yang iri atau tidak setuju, dia jawab tidak. Dan sampai saat ini masjid itu tak makmur seperti kami citakan puluhan tahun silam.
Pengurus masjid berganti, laporan keuangan beres dan tukang azan dapat seikhlasnya dari si pengurus masjid. Tidak ada satupun yang diberi honor pantas sebagai sebuah pekerjaan tetap. Penjaga SD dan Toko kecil saja dapat honor UMR mengapa masjid tidak?. Rupanya ada yang berfikir bahwa masjid harus dijaga bersama dengan ikhlas tanpa gaji. Sangatlah naif kalau kita terus berharap masjid bisa makmur tetapi kita bekerja seikhlasnya. Artinya bahwa keikhlasan itu tergantung dari saya, sempat atau tidak untuk membantu bantu kebersihan. Maka dimanapun kita datang akan banyak masjid yang kotor minta ampun, bau pesing dan tidak ada air.
Kita meminta orang lain menjadi altruis tapi altruispun perlu makan dan membiayai rumah tangganya. Seorang marbot sejak lahir pasti adalah seorang altruis. Dia pasti tidak menginginkan apapun sebagai imbalan. Kalau dia berpunya untuk sekedar menopang hidupnya lumayanlah karena bagaimanapun, orang susah akan nampaklah raut diwajahnya. Tak mungkin bisa senyum bila dia susah oleh suatu kebutuhan sepele semisal SPP anaknya atau mungkin berasnya habis!.
Masjid memerlukan para pengurusnya yang memahami ilmu managemen dan memiliki akhlak yang baik. Bisa saja kita merekrut lulusan ponpes atau IAIN yang profesional tetapi yang utama adalah bagaimana seorang marbot masjid bisa siaga dari jam 04.00 sampai jam 22.00 dan di bulan ramadan sampai 24 jam. Setidaknya harus ada marbot dan muazin yang bisa bergantian menjadi imam atau khatib bila imam/mufti utama tidak hadir. Orang yang mengurus masjid hendaknya orang yang sholeh secara sosial, yang sanggup menempatkan diri pada posisi orang lain dilingkup kerjanya. Orang yang sholeh sosial pasti memahami bahwa seorang altruis mempunyai kebutuhan dasar yang harus dipenuhi. Tidak bisa berlagak mengangkatnya jadi semacam hero atau pejuang akhirat tukang nyelengi fadilah, barokah dan segala pernik suarga. Marbot harus dijaga harmoni hidupnya antara jasmani dan rohani. Alangkah jahatnya para takmir masjid yang makan kenyang dan enak enak tidur sementara orang yang menjaga masjid yang dikira Rumah Allah itu menahan lapar dan dingin karena tak ada makanan dan selimut untuknya.
Terus saja kita bicara memakmurkan masjid dengan berbagai usaha. Pernah ada pasar jum’at lalu bazaar selama bulan tertentu termasuk ramadhan dan pasar khusus dihari ahad. Tapi apa artinya memakmurkan masjid seh?. Masjid yang makmur adalah dimana semua kebutuhan dasar rohani terpenuhi. Masjid adalah pusat kebudayaan, sehingga disanalah tempat yang sangat pantas untuk mendidik generasi muda di bidang science, seni budaya, bahasa, olahraga, bisnis dan keuangan tanpa riba. Dengan fungsi sebesar itu apakah mungkin seorang altruis yang lapar dan kedinginan membantu meyiapkan tempat yang layak untuk jamaahnya?. Kalau untuk main slodor anak kecil bisa saja tapi ini untuk sebuah jihad fisabillah dalam rangka membangun karakter rahmatan lillalamin, jauh panggang dari tukang satenya.
Membangun managemen modern di masjid adalah persoalan darurat. Di dusun yang saya ceritakan itu seorang marbot dapat hidup minimal dari hasil sawah diseputar masjid, itupun sering dikerubuti orang kampung yang main ambil sayur dan buah. Dengan jumlah penduduk muslim besar seharusnya kita memikirkan bagaimana sebuah mesjid memiliki imam/mufti utama, marbot dan muazzin yang profesional. Minimal untuk memulainya cukuplah marbot dan muazzin dahulu. Mari kita mulai pertobatan kita dengan memperbaiki SDM masjid yang kelak akan memakmurkan segala lini kehdupan. Jangan sampai apa yang dikatakan orang Spanyol bahwa masjid adalah tempat kencing, benar benar terjadi di negeri seribu masjid ini!. Wallahualambissawab

Demikian dan maaf
Yang ikhlas
Hazairin R, JUNEP